Kamis, 30 Desember 2010

Selamat Tahun Baru


Saya pernah melewati malam, termasuk malam tahun baru. Malam pergantian masehi yang kerap ditandai dengan tiupan terompet, saling berpelukan, bertukar ucapan selamat dan seremonial lain. Hingga kini atau 27 kali melewati malam itu, saya masih belum menemukan apa makna di balik tahun baru. Saya malah merasakan malam biasa. Dimana bulan bersinar seperti malam-malam yang lain, angin yang saya rasakan juga masih sama. Begitupun manusia-manusia di sekitar saya, masih berwujud identik dengan sebelumnya. Saya tidak merasakan malam yang istimewa.

Saat saya menengadah ke atas, di langit tidak ada perubahan sama sekali. Gelap tidak terang. Angin hanya membawa suara-suara kembang api dan petasan yang sangat mengganggu perjalanan pulang dari kantor. Detik-detik pergantian hari juga tidak ada yang istimewa. Saat terbangun untuk memulai kegiatan pun biasa saja. Sangat biasa. Sekali lagi, tidak ada yang istimewa.

Mungkin, masehi, diciptakan untuk keteraturan beraktivitas, keteraturan manajemen keuangan, keteraturan untuk hidup secara global. Saya rasa, pergantiannya hanya untuk mengatur rutinitas universal. Selain juga, tak terlalu krusial memang, menandai umur kita yang semakin bertambah.

Lalu, apa makna monumentalnya? Apakah ini adalah saatnya kita beresolusi untuk 365 hari ke depan? Mungkin. Tapi resolusi bisa kita ucapkan setiap saat, setiap detik, setiap waktu. Perubahan atas diri, atas lingkungan tidak harus menunggu malam itu.

Malam pergantian tahun selalu dirayakan. Sekadar untuk diketahui, tingkat hunian hotel di kota saya di malam tahun baru mencapai 100% atau setidaknya di sekitaran angka itu. Kemudian, jika kita menyusuri jalan-jalan protokol, seakan setiap orang enggan dilewati. Hanya sedikit ruang gerak bagi kita. Manusia terbius dengan sugesti pergantian masehi.

Aneh. Padahal tidak ada yang istimewa, cenderung sangat biasa malah. Saya pikir mungkin inilah saat manusia memaknai perjalanannya, pergantian masehi dimanfaatkan untuk mengembangkan esensi hidup dan eksistensi diri. Selain mungkin ada juga yang berniat untuk mengadu pada sesamanya bahwa ”Saya takut menghadapi 365 hari nanti,”

Sugesti yang tak pernah berhenti.

Di akhir, memohon dan berdoalah. Agar 365 hari yang akan datang berpihak pada kita. Tiupan terompet, mudah-mudahan bermakna. Selamat tahun baru. Selamat berkarya dan selamat menjalankan tahap demi tahap kehidupan. Perubahan, semoga itu ada.

Kamis, 02 September 2010

Cerita Seorang Teman

“Kamu tambah kurus,” kata salah seorang teman lama saya.

“Iya kah?” tanya saya.

Lalu, dia mendekat, mengajak bersalaman, dan bergumam, “Mukamu tak berubah, tetap seperti saat pertama kita bertemu dulu, hanya saja, sekarang tampak lebih tua, lebih lelah,” tambahnya, yang dalam tulisan ini tidak akan saya sebut namanya.

Kami bertemu di Jakarta, tepatnya di salah satu tempat makan kaki lima yang justru tidak identik dengan filosofi kaki lima. Lesehan, tidak terlalu nyaman, tapi enak untuk dijadikan tempat menghabiskan waktu. Di tempat itu, kami sempat bertemu pejabat negara (kepala daerah) sedang menikmati makan malamnya. Tanpa pengawalan. Tanpa protokoler. Tapi si pejabat itu hanya menjadi obrolan intermezo kami. Tidak tertarik untuk mengomentari lebih jauh.

Teman saya memesan ayam goreng lengkap dengan sambal dan lalabannya. Saya, hanya meminta es teh manis. Lalu, kami mulai saling bicara, meski awalnya agak canggung.

Teman saya seorang perempuan cerdas.Manusia brilian yang kemampuannya relatif dibutuhkan banyak perusahaan mapan. Tak heran, sekarang dia bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jabatannya, saya tak tahu percis, atau lebih tepatnya lupa.

Dia bukan sahabat, sekadar teman bercerita. Kami juga bisa dikatakan tidak saling membutuhkan. Hanya saja, dia selalu siap mendengarkan apa yang saya curahkan. Pun sebaliknya. “Yah, namanya juga sudah kerja. Banyak pikiran,” jawab saya.

“Terserahlah, yang penting kamu sekarang sudah tampak tua,” kata dia.

“Ah,”

Menurut saya, dia hebat. Jika tampak dari fisik, pakaian dan gadget, kini dia berhasil dalam menata hidup. Tipe perempuan yang tidak banyak bicara tapi bisa menghadapi berbagai persoalan. Mandiri dan punya tujuan hidup. Hari itu, kami banyak bercerita, dari soal negara, politik, analisis media, sepakbola hingga masalah percintaan masing-masing dari kami.

“Rokok?” dia menawarkan rokok mentholnya.

“Tidak,”

Sudah dua tahun kami tidak bertemu. Bahkan dalam kurun waktu tersebut, kami jarang melakukan kontak. “Sebetulnya apa yang kamu lakukan sekarang?” teman saya mencoba mengorek cerita hidup selama dua tahun.

“Saya wartawan,”

“Pekerjaan yang menarik,”

“Kamu sendiri?” tanya saya.

“Saya tidak tahu, apa pekerjaan saya, tapi saya menikmatinya. Banyak diam, tapi dibayar negara,”

Teman saya ini menarik. Dia tidak mau bicara dengan orang yang dia anggap bodoh. Dia juga tidak suka orang yang tidak memiliki semangat hidup. Tapi dia bukan periang, bukan perempuan ceria yang selalu menampakkan ekspresi spontannya. “Saya bosan dengan rutinitas, meski tadi saya bilang menikmatinya,” kata dia.

Wah, pada saat itu saya sering sekali mendengarkan keluhan orang tentang rutinitas. Bukankah rutinitas itu tidak bisa kita hindari? Bukankah rutinitas itu bagian dari hidup? Tulisan saya sebelumnya, penuh dengan keluh kesah. Terutama tentang rutinitas. “Ah, saya yakin, seorang Adolf Hitler sang otoriter fasis, atau Bill Gates si empunya microsoft juga pasti sama-sama pernah bosan dengan rutinitas,” ujar teman saya.

Teman saya cantik, meski tidak sekonyong-konyong kecantikannya itu bisa langsung kita temukan. Tapi lewat tutur bahasa, perilaku dan cara dia menikmati hidupnya (dulu), itulah kecantikannya. “Saya juga mau bilang, kamu jadi kurus. Bukankah, menikmati hidup berbanding lurus dengan berat badan. Katanya jika orang menikmati hidup, berat badannya bisa bertambah,” tutur saya.

“Berkolerasi positif?” tanyanya.

“Hanya hipotesa,”

“Hmmm, entahlah. Tapi saya memang benar-benar menikmati hidup saya sekarang. Mungkin apa yang terjadi dengan saya sekarang adalah antitesa. Kini, saya bisa bebas menjalankan apa yang saya mau. Saya tidak merasa terkekang dengan aturan kantor,” bebernya.

“Itu beda dengan saat saya dulu masih berdiam diri di rumah orang tua. Terlalu banyak aturan tidak tertulis, yang harus dipatuhi. Harus seperti apalah, gimanalah, ada yang membuat aturannya, dan ada beban ketika kita harus mematuhinya,” tambah teman saya.

Dia menengadah ke atas beberapa detik, lalu mengembalikan posisi kepalanya. “Kamu, apakah kamu menikmati hidup?”

“Saya tidak mau membahas tentang menikmati atau tidak. Saya hanya ingin kita bercerita tentang apa yang terjadi dengan masing-masing dari kita setelah tidak pernah bertemu dua tahun ini,” ujar saya.

“Apa kabar pasanganmu?” tanya saya.

“Entahlah, saya lelah jika harus berpikir tentang pasangan. Saya takut untuk menikah. Bukan takut dengan punya atau tidak punya uang. Saya hanya ingin menikmati kesendirian saya. Dengan kata lain, saya tidak mau menikah,” dia menjelaskan.

Ini dia masalahnya. Teman saya ternyata tidak menikmati hidup seutuhnya. Meski, menurut saya dia sudah tergolong mapan secara finansial, tapi ada saja masalah yang menggelayutinya. “Tolong jangan bicara tentang agama, saya hanya ingin kamu dan saya bicara soal samawi,” lanjutnya.

“Ok,”. Pembicaraan mulai menghangat. Sepertinya, dia bersiap-siap mengeluarkan argumen terbaiknya.

Menikah menurutnya sesuatu yang tak penting. Sesuatu yang menghamburkan banyak waktu dan uang. Kebebasan yang saat ini sudah susah payah dia rengkuh, ternyata kembali harus direnggut oleh pelaminan.

“Saya ingin sendiri, seterusnya. Tidak ada anak, tidak ada suami. Saya bahagia sendiri. Maka dari itu saya memutuskan untuk sendiri sekarang. Semua saya nikmati sendirian. Saya punya rumah, punya mobil. Tak perlu berbagi,” bebernya.

Kata dia, menikah itu naif. Penyatuan insan merupakan perbuatan yang dibuat oleh manusia. “Kamu tahu nafsu? Menurut saya menikah itu tidak lain karena itu. Nafsu manusia, ego yang nantinya malah mengkungkung diri kita sendiri,”

“Bukankah dengan menikah kita bisa bahagia. Kita bisa memotivasi diri kita dengan adanya keluarga,” kata saya. “Ah, itu menurutmu. Menurut saya beda. Menikah itu tidak lain karena seks,” jawabnya.

Dia mengucapkan semacam janji, tepat di depan mata saya. “Kamu tahu, saya tidak akan pernah menikah,” ungkapnya. Saya tersenyum…

Beberapa hari lalu, saya menerima SMS, “Datang yah ke kawinan saya,,,,,,,,,,,,,,…..” Nomor yang tercantum adalah nomor teman saya yang terakhir bertemu malam tepat satu tahun lalu di salah satu cafĂ© kaki lima di Jakarta. “Ternyata dia sudah mengerti arti dari pernikahan,” pikir saya.

Minggu, 29 Agustus 2010

In memoriam Kang Ibing

”Dia (Kang Ibing) dulu suka menggosipkan saya sudah meninggal.Begitu juga saya. Waktu saya lagi syuting di Cianjur dulu, ada polisi yang mendekati saya dan bilang ini bener Kang Aom? Kan kata Kang Ibing,Kang Aom sudah meninggal,”kenang Aom Kusman. Bagi presenter senior dan seniman SundaAom Kusman,meninggalnya Kang Ibing bagaikan petir di siang bolong.



Bercanda soal kematian menjadi humor biasa bagi Aom Kusman dan Kang Ibing. Dia bahkan sempat menyangka berita kematian Ibing kebohongan belaka dan hanya candaan sang legenda Sunda itu. Dia baru percaya setelah kru Radio Mara,radio tempat dua sahabat itu pertama kali aktif di dunia broadcasting,menyebutkan kabar tersebut datang dari anak Ibing. Beberapa saat kemudian,kabar meninggalnya Ibing tampil di jejaring sosial Facebook danTwitter.

”Saya pun percaya, tapi masih belum percaya dia sudah tidak ada, saya kehilangan,”ujar Aom saat ditemui Seputar Indonesia di rumahnya, Jalan Rajamantri Tengah III No1,Kota Bandung,kemarin. Aom mengenal pria bernama asli Raden Aang Kusmayatna Kusumadinata itu pada pertengahan tahun 1960-an. Saat itu, keduanya aktif di Daya Mahasiswa Sunda (Damas) atau organisasi mahasiswa yang tertarik dengan ke-Sundaan. Di organisasi tersebut pertama kali ada pagelaran kawinan senopati.

”Saya sudah kenal Ibing dengan bodoran-bodoran-nya. Jadi, saya mengajak dia untuk berperan menjadi lebe(penghulu).Dulu dia belum terkenal, hanya beberapa orang yang mengenalnya. Akhirnya kawinan senopati menjadi acara yang digemari di Damas, ”ungkap Aom. Pada 1970, Aom menjadi penyiar di Radio Mara.Dia mengajak Ibing untuk menjadi penyiar.Ibing pun diterima.

Lalu, siaran keduanya yang dinamakan Kios Cinta menjadi legenda. ”Anak muda dulu, setiap malam Jumat dan malam Minggu pada begadang mendengarkan kami.Tidak ada yang tidak kenal kami di Radio Mara,” ungkap Aom. Pada 1976,Ibing dan Aom menjadi bintang di film pertamanya berjudul Si Kabayan. Keduanya beradu akting dengan aktris Leni Marlina. Di situlah awal terbentuknya D’Kabayan bersama tiga teman lainnya, yakni Suryana Fatah atau Mang Fatah,Wawa Sofyan, dan Ujang.

D’Kabayan sukses total. Aom masih ingat momen pertama manggung grup lawak tersebut di Palembang, Sumatera Selatan, bersama grup vokal Bimbo. ”Dari situlah kami menginvasi Indonesia. Kami main di berbagai tempat di Indonesia dengan sambutan yang luar biasa,” ujarnya. Tapi, maut memisahkan mereka. Wawa Sofyan pertama kali dipanggil Sang Khalik. Beberapa tahun kemudian giliran Suryana Fatah yang meninggal dunia, lalu tidak lama Ujang menyusul.

”Kami berdua (Ibing dan Aom) pernah bercanda. Siapa duluan nih yang dipanggil. Tahunya Ibing.Dan saya menjadi orang terakhir di D’Kabayan,” ungkap Aom. Pada tahun 1990,Aom yang mengaku lebih ngepop menjajaki dunia hiburan ibu kota. Dia mulai menjadi presenter kuis Siapa Diadi TVRI. Seiring dengan kesibukannya di Jakarta, Aom mengurangi siarannya di Radio Mara. Ibing tinggal sendiri. ”Tapi dasar Ibing cerdas, dia memiliki ide untuk acara Cianjuran.

Dan acaranya itu ternyata juga menjadi legenda di Mara,”ungkap Aom. Pada 1995, Aom total meninggalkan dunia siaran dan masuk ke jagat visual atau televisi.Namun, hubungan mereka tidak pernah surut, meski hubungan komunikasi tidak seperti dulu lagi karena dipisahkan jarak Jakarta dan Bandung. Menurut Aom, Ibing lebih kepada dunia ke-Sundaan, sementara dia lebih ngepop.

”Susah menemukan seorang teman secerdas dia.Tapi,dia juga tidak akan pernah bisa punya pasangan yang seperti saya. Karena kami sudah sama-sama tahu jika kami lucu-lucuan, saya mancing ke mana,Ibing ke mana,”cerita Aom. Bagi Aom, meninggalnya Ibing berarti dia tidak akan menemukan lagi humornya dan bercandaan yang superlucu. Banyak kenangan di antara keduanya yang selalu membuat Aom tertawa terkikik sendirian. (krisiandi sacawisastra)


Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia Edisi 21 Agustus 2010. Dan entah kenapa wawancara dengan Aom Kusman ini menarik buat saya. Untuk pertama kalinya, saya meminta foto bareng dengan Aom Kusman.





Keterangan Foto: Kang Ibing (net)
Saya dan Kang Aom (Mudasir/Seputar Indonesia)

Rabu, 28 April 2010

Memandang Belanda, Memotivasi Indonesia


Dunia mengenal Philips, sama baiknya seperti Philips mengenal dunia. Dengan tagline “Terang Terus”, produk lampu itu menerangi jutaan rumah penduduk bumi. Lalu ada Bata, produsen sandal dan sepatu yang menjadi alas kaki miliaran manusia di dunia. Ada juga Shell, oli yang pernah menjadi sponsor tetap tim F1 Scuderia Ferrari dengan pebalap legendarisnya, Michael Schumacher.

Jika Anda penggemar susu, pasti familiar dengan Frisian Flag (Friesche Vlag) perusahaan induk produsen susu Bendera di Indonesia. Anda juga barangkali kenal dengan Heineken, penghasil jutaan liter bir per tahunnya. Sebagian masyarakat Indonesia pasti mengenal pula Unilever, produsen pasta gigi Pepsodent, sabun Lux, dan produk keperluan rumah tangga sehari-hari lainnya.

Nah, tahukah Anda bahwa berbagai perusahaan indukpemegang merek-merek dagang tersebut berasal dari Belanda, negeri mungil di belahan Eropa yang bernama resmi Koninkrijk der Nederlanden? Negeri kaya inovasi ini punya ikatan yang sangat kuat dengan negara kita, Indonesia. Kedekatan ini terjalin karena nenek moyang sebagian warga Belanda pernah tinggal di Indonesia selama sekitar 3,5 abad.

Kini, perusahaan-perusahaan tadi dikenal sebagai korporat raksasa yang produknya merambah ke berbagai pelosok dunia dan menjadi kekuatan ekonomi Belanda. Selalu ada saja karya dan produk inovatif yang mereka rilis dan kemudian menjadi bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat dunia.

Belanda tak hanya piawai mencetak beragam produk ionovatif di bidang industri. Kesegaran daya pikir orang-orang Belanda juga merambah dunia olahraga. Sebut saja strategi dan taktik jitu arsitek lapangan rumput mereka yang menjadi fondasi kekuatan tim-tim andal yang berlaga di kancah sepakbola modern.

Belanda menamakan strategi itu “Total Football” yang dikenalkan pelatih tim Belanda di Piala Dunia Jerman Barat 1974, Rinus Michel. Rinus mengajarkan dunia bagaimana sepakbola seimbang antara menyerang dan bertahan. Selain bertaji, strategi “total football” sangat menghibur. Tim asuhan Rinus saat itu sampai dijuluki juara tanpa mahkota.




Masih di kancah sepakbola, Belanda memiliki Ajax Amsterdam, klub dengan metoda inovatif untuk melahirkan para pemain muda brilian di masanya. Klub ini juga memiliki stadion unik yang menjadi salah satu ikon budaya inovasi Belanda. Ya,Stadion ArenA di Amsterdam dibangun di atas terowongan jalan tol!





Dunia sudah mengakui, orang Belanda memang kreatif di berbagai bidang. Apa saja pendorong kuatnya daya kreasi dan inovasi orang-orang Negeri Kincir Angin itu? Saya mencoba membedahnya secara sederhana.

Pertama, jika dihubungkan dengan kondisi geografis negaranya, penduduk Belanda memang dituntut untuk terus berinovasi. Karena jika tidak, bisa jadi Belanda kini hanya tinggal sejarah. Sebagian wilayah negara asal pesepakbola Marco van Basten itu berada di bawah permukaan laut. Tanpa inovasi di bidang teknologi, negeri mungil itu bisa tenggelam.

Kincir angin dan dam yang lebih kita kenal sebagai bendungan adalah inovasi paling populer orang Belanda. Maka wajar saja jika nama beberapa kota di sana berakhiran “dam” seperti Amsterdam atau Rotterdam. Kincir dan dam secara umum berfungsi menjaga agar Belanda tak kebanjiran lalu tenggelam. Dari sanalah istilah “Negeri Kincir Angin” muncul.

Faktor kedua, Belanda tak punya wilayah yang luas yakni hanya 41,526 km persegi. Negeri ini juga tidak punya kekayaan alam melimpah layaknya kita di Indonesia. Jika tak ada ide segar dan baru, maka kini Ratu Beatrix hanya akan memimpin rakyatnya yang miskin, pengangguran, dan sakit-sakitan.

Tidak itu saja. Sumber daya manusianya pun sedikit. Penduduk Belanda kurang lebih hanya sekitar 16 juta jiwa dengan kepadatan 395 jiwa per kilometer persegi. Rakyat Belanda terpaksa -lebih tepatnya dipaksa- memutar otak agar dapat membuat negaranya mampu bersaing di segala bidang dengan negara lain. Motivasi inilah yang kemudian membuat daya inovasi dan daya kreasi orang-orang Belanda menjadi sangat luar biasa. Belanda pun menjelma menjadi salah satu negara termaju di Eropa dan dunia.





Sebetulnya, saya tidak pernah menginjakkan kaki di negeri Perdana Menteri Jan Peter Balkenende itu. Tapi, informasi, kabar, dan kisahnya sering saya dengar baik melalui media maupun secara lisan dari orang-orang yang pernah berkunjung ke sana. “Belanda tak terlupakan,” kata Tamara Anisa, seorang teman saya.

Tamara yang akrab saya sapa Tara, pernah bermukim beberapa bulan di Belanda. Dia sering bercerita bagaimana masyarakat Belanda, tua dan muda, selalu berupaya mencari hal-hal baru hingga menguasai detailnya baik demi kelanjutan hidup personal maupun untuk negara mereka. Kaum muda, pelajar, dan mahasiswanya selalu menjadi garda terdepan proses transfer daya kreatif dan inovatif.

Belanda punya TU Delft University of Technology di Delft, salah satu kota kecil di sana. Siapa sangaka bila universitas ini ternyata merupakan cikal bakal pendirian Institut Teknologi Bandung (ITB), kampus teknik terdepan di Indonesia. Banyak fenomena teknologi yang dihasilkan mahasiswa TU Delft.




“Penelitian mereka tidak hanya untuk jadi formalitas kelulusan seperti kita di Indonesia. Dokumentasi hasil penelitian mahasiswa di sana tidak juga hanya untuk ditumpuk atau disimpan rapi di perpustakaan tanpa tindak lanjut atau implementasi berarti,” tutur Tara.

Bila ada bagian yang kurang, mereka akan terus meneliti hingga karyanya sempurna dan bisa diimplementasikan untuk kemajuan kehidupan. “Karya penelitian di sana sangat dihargai, baik secara moral maupun materil,” ujar Tara lagi.

Bagi saya, Belanda sudah menjadi hapalan sehari-hari sejak duduk di bangku sekolah dasar. Nama negara itu sering menjadi materi soal ujian pada mata pelajaran Sejarah. Beberapa pertanyaan misalnya, “Tahun berapa Belanda (VOC) mendarat di Sunda Kelapa?”, “Siapa perwakilan Belanda di perjanjian Linggarjati?,” atau “Di kota mana Konferensi Meja Bundar digelar?” sering saya temui di tes-tes mata pelajaran sejarah.

Jujur, saya sempat membenci Belanda saat kecil dulu. Buku-buku pelajaran sejarah memuat bagaimana Belanda menciptakan kebodohan, keterpurukan, dan kemiskinan di Indonesia ratusan tahun lamanya. Bayangan saya saat itu tentang orang Belanda adalah bule-bule sombong, kejam, dan angkuh.

Namun seiring dengan kedewasaan sekaligus perkembangan wawasan, kini saya berdecak kagum terhadap Belanda. Bayangkan saja, bagaimana bisa ratusan tahun lalu, orang-orang dari negeri mungil tersebut menguasai Nusantara bentukan Maha Patih Gajah Mada.

Satu hal lagi yang saya pelajari dari negeri eks jajahan Spanyol ini adalah kebebasan. Terlepas dari konteks sejarah dengan Indonesia, sisi lain Belanda sebenarnya telah mengajarkan dunia tentang kebebasan dan cara menghargainya. Kebebasan adalah sarana untuk mendukung daya pikir pembaharu.

Tara bercerita, di Belanda, seks pranikah cenderung legal, homoseks tidak tabu. Negara itu bahkan dikenal sebagai tempat pernikahan kaum homo. Di Belanda, tayangan porno ada di hampir semua siaran televisi. Ganja pun diperjualbelikan bebas di beberapa gerai. Prostitusi juga diizinkan.

Kacaukah Belanda? Tidak. Kebebasan ternyata justru membuat Belanda teratur. Bahkan, Belanda bahkan dikenal sebagai kiblat alias acuan hukum dunia!

Di samping segala keterbatasan mengenai daratannya yang terancam bencana air bah, luas wilayah yang sempit atau SDM yang kurang, kebebasan inilah yang hakikinya membuat daya imajinasi dan inovasi orang-orang Belanda begitu tinggi.

Anda pasti mengenal Vincent Willem van Gogh (30 Maret 1853 – 29 Juli 1890). Seorang pelukis pengidap epilepsi kelahiran Belanda yang karyanya berdampak luas di dunia. Beraliran ekpresionis, proses kreatif van Gogh juga berangkat dari kebebasan penuh dalam menuangkan ide pada karya-karyanya.


Philips, Shell, Rinus Michael, van Gogh, dan banyak lembaga atau tokoh Belanda lainnya memiliki karya-karya inspiratif karena dukungan penuh negara. Dukungan lingkungan yang beretos kerja tinggi serta sektor pendidikan yang memiliki hubungan baik dengan industri.

Inti dari paparan tentang sekelumit Belanda yang saya tahu ini adalah inspirasi dan dorongan kuat bagi kita untuk tidak berhenti berinovasi. Inovasilah yang membuat negeri mungil itu menjadi bersahaja dan dihormati negara-negara lain di belahan dunia. Inovasi tiada henti.

Dan saya ingin merasakan langsung betapa budaya terus berinovasi itu masuk ke sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Saya ingin merasakan langsung bagaimana proses dan daya kreatif bisa membuat kehidupan manusia menjadi lebih maju, lebih berarti. Bagi dirinya sendiri, lingkungan, dan negaranya. Saya ingin –dengan ilmu dan pengalaman di Belanda-, suatu saat menjadi pelaku sekaligus saksi bahwa Indonesia pun bisa menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan di dunia. (krisiandi sacawisastra)





keterangan foto: foto1: rinus michels www.sportsillustrated.cnn.com
foto2: stadion Amsterdam ArenA www.skyscrapercity.com/showthrea
foto3: Perdana Menteri Jan Peter Balkenende www.rnw.nl
Foto4: TU Delft Building www.boiteaoutils.blogspot.com
Foto5: Vincent van gogh http://id.wikipedia.org/wiki/Vincent_van_Gogh