Kamis, 02 September 2010

Cerita Seorang Teman

“Kamu tambah kurus,” kata salah seorang teman lama saya.

“Iya kah?” tanya saya.

Lalu, dia mendekat, mengajak bersalaman, dan bergumam, “Mukamu tak berubah, tetap seperti saat pertama kita bertemu dulu, hanya saja, sekarang tampak lebih tua, lebih lelah,” tambahnya, yang dalam tulisan ini tidak akan saya sebut namanya.

Kami bertemu di Jakarta, tepatnya di salah satu tempat makan kaki lima yang justru tidak identik dengan filosofi kaki lima. Lesehan, tidak terlalu nyaman, tapi enak untuk dijadikan tempat menghabiskan waktu. Di tempat itu, kami sempat bertemu pejabat negara (kepala daerah) sedang menikmati makan malamnya. Tanpa pengawalan. Tanpa protokoler. Tapi si pejabat itu hanya menjadi obrolan intermezo kami. Tidak tertarik untuk mengomentari lebih jauh.

Teman saya memesan ayam goreng lengkap dengan sambal dan lalabannya. Saya, hanya meminta es teh manis. Lalu, kami mulai saling bicara, meski awalnya agak canggung.

Teman saya seorang perempuan cerdas.Manusia brilian yang kemampuannya relatif dibutuhkan banyak perusahaan mapan. Tak heran, sekarang dia bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jabatannya, saya tak tahu percis, atau lebih tepatnya lupa.

Dia bukan sahabat, sekadar teman bercerita. Kami juga bisa dikatakan tidak saling membutuhkan. Hanya saja, dia selalu siap mendengarkan apa yang saya curahkan. Pun sebaliknya. “Yah, namanya juga sudah kerja. Banyak pikiran,” jawab saya.

“Terserahlah, yang penting kamu sekarang sudah tampak tua,” kata dia.

“Ah,”

Menurut saya, dia hebat. Jika tampak dari fisik, pakaian dan gadget, kini dia berhasil dalam menata hidup. Tipe perempuan yang tidak banyak bicara tapi bisa menghadapi berbagai persoalan. Mandiri dan punya tujuan hidup. Hari itu, kami banyak bercerita, dari soal negara, politik, analisis media, sepakbola hingga masalah percintaan masing-masing dari kami.

“Rokok?” dia menawarkan rokok mentholnya.

“Tidak,”

Sudah dua tahun kami tidak bertemu. Bahkan dalam kurun waktu tersebut, kami jarang melakukan kontak. “Sebetulnya apa yang kamu lakukan sekarang?” teman saya mencoba mengorek cerita hidup selama dua tahun.

“Saya wartawan,”

“Pekerjaan yang menarik,”

“Kamu sendiri?” tanya saya.

“Saya tidak tahu, apa pekerjaan saya, tapi saya menikmatinya. Banyak diam, tapi dibayar negara,”

Teman saya ini menarik. Dia tidak mau bicara dengan orang yang dia anggap bodoh. Dia juga tidak suka orang yang tidak memiliki semangat hidup. Tapi dia bukan periang, bukan perempuan ceria yang selalu menampakkan ekspresi spontannya. “Saya bosan dengan rutinitas, meski tadi saya bilang menikmatinya,” kata dia.

Wah, pada saat itu saya sering sekali mendengarkan keluhan orang tentang rutinitas. Bukankah rutinitas itu tidak bisa kita hindari? Bukankah rutinitas itu bagian dari hidup? Tulisan saya sebelumnya, penuh dengan keluh kesah. Terutama tentang rutinitas. “Ah, saya yakin, seorang Adolf Hitler sang otoriter fasis, atau Bill Gates si empunya microsoft juga pasti sama-sama pernah bosan dengan rutinitas,” ujar teman saya.

Teman saya cantik, meski tidak sekonyong-konyong kecantikannya itu bisa langsung kita temukan. Tapi lewat tutur bahasa, perilaku dan cara dia menikmati hidupnya (dulu), itulah kecantikannya. “Saya juga mau bilang, kamu jadi kurus. Bukankah, menikmati hidup berbanding lurus dengan berat badan. Katanya jika orang menikmati hidup, berat badannya bisa bertambah,” tutur saya.

“Berkolerasi positif?” tanyanya.

“Hanya hipotesa,”

“Hmmm, entahlah. Tapi saya memang benar-benar menikmati hidup saya sekarang. Mungkin apa yang terjadi dengan saya sekarang adalah antitesa. Kini, saya bisa bebas menjalankan apa yang saya mau. Saya tidak merasa terkekang dengan aturan kantor,” bebernya.

“Itu beda dengan saat saya dulu masih berdiam diri di rumah orang tua. Terlalu banyak aturan tidak tertulis, yang harus dipatuhi. Harus seperti apalah, gimanalah, ada yang membuat aturannya, dan ada beban ketika kita harus mematuhinya,” tambah teman saya.

Dia menengadah ke atas beberapa detik, lalu mengembalikan posisi kepalanya. “Kamu, apakah kamu menikmati hidup?”

“Saya tidak mau membahas tentang menikmati atau tidak. Saya hanya ingin kita bercerita tentang apa yang terjadi dengan masing-masing dari kita setelah tidak pernah bertemu dua tahun ini,” ujar saya.

“Apa kabar pasanganmu?” tanya saya.

“Entahlah, saya lelah jika harus berpikir tentang pasangan. Saya takut untuk menikah. Bukan takut dengan punya atau tidak punya uang. Saya hanya ingin menikmati kesendirian saya. Dengan kata lain, saya tidak mau menikah,” dia menjelaskan.

Ini dia masalahnya. Teman saya ternyata tidak menikmati hidup seutuhnya. Meski, menurut saya dia sudah tergolong mapan secara finansial, tapi ada saja masalah yang menggelayutinya. “Tolong jangan bicara tentang agama, saya hanya ingin kamu dan saya bicara soal samawi,” lanjutnya.

“Ok,”. Pembicaraan mulai menghangat. Sepertinya, dia bersiap-siap mengeluarkan argumen terbaiknya.

Menikah menurutnya sesuatu yang tak penting. Sesuatu yang menghamburkan banyak waktu dan uang. Kebebasan yang saat ini sudah susah payah dia rengkuh, ternyata kembali harus direnggut oleh pelaminan.

“Saya ingin sendiri, seterusnya. Tidak ada anak, tidak ada suami. Saya bahagia sendiri. Maka dari itu saya memutuskan untuk sendiri sekarang. Semua saya nikmati sendirian. Saya punya rumah, punya mobil. Tak perlu berbagi,” bebernya.

Kata dia, menikah itu naif. Penyatuan insan merupakan perbuatan yang dibuat oleh manusia. “Kamu tahu nafsu? Menurut saya menikah itu tidak lain karena itu. Nafsu manusia, ego yang nantinya malah mengkungkung diri kita sendiri,”

“Bukankah dengan menikah kita bisa bahagia. Kita bisa memotivasi diri kita dengan adanya keluarga,” kata saya. “Ah, itu menurutmu. Menurut saya beda. Menikah itu tidak lain karena seks,” jawabnya.

Dia mengucapkan semacam janji, tepat di depan mata saya. “Kamu tahu, saya tidak akan pernah menikah,” ungkapnya. Saya tersenyum…

Beberapa hari lalu, saya menerima SMS, “Datang yah ke kawinan saya,,,,,,,,,,,,,,…..” Nomor yang tercantum adalah nomor teman saya yang terakhir bertemu malam tepat satu tahun lalu di salah satu café kaki lima di Jakarta. “Ternyata dia sudah mengerti arti dari pernikahan,” pikir saya.

1 komentar:

hahn mengatakan...

wah mantap om
ternyata...