Kamis, 30 Desember 2010

Selamat Tahun Baru


Saya pernah melewati malam, termasuk malam tahun baru. Malam pergantian masehi yang kerap ditandai dengan tiupan terompet, saling berpelukan, bertukar ucapan selamat dan seremonial lain. Hingga kini atau 27 kali melewati malam itu, saya masih belum menemukan apa makna di balik tahun baru. Saya malah merasakan malam biasa. Dimana bulan bersinar seperti malam-malam yang lain, angin yang saya rasakan juga masih sama. Begitupun manusia-manusia di sekitar saya, masih berwujud identik dengan sebelumnya. Saya tidak merasakan malam yang istimewa.

Saat saya menengadah ke atas, di langit tidak ada perubahan sama sekali. Gelap tidak terang. Angin hanya membawa suara-suara kembang api dan petasan yang sangat mengganggu perjalanan pulang dari kantor. Detik-detik pergantian hari juga tidak ada yang istimewa. Saat terbangun untuk memulai kegiatan pun biasa saja. Sangat biasa. Sekali lagi, tidak ada yang istimewa.

Mungkin, masehi, diciptakan untuk keteraturan beraktivitas, keteraturan manajemen keuangan, keteraturan untuk hidup secara global. Saya rasa, pergantiannya hanya untuk mengatur rutinitas universal. Selain juga, tak terlalu krusial memang, menandai umur kita yang semakin bertambah.

Lalu, apa makna monumentalnya? Apakah ini adalah saatnya kita beresolusi untuk 365 hari ke depan? Mungkin. Tapi resolusi bisa kita ucapkan setiap saat, setiap detik, setiap waktu. Perubahan atas diri, atas lingkungan tidak harus menunggu malam itu.

Malam pergantian tahun selalu dirayakan. Sekadar untuk diketahui, tingkat hunian hotel di kota saya di malam tahun baru mencapai 100% atau setidaknya di sekitaran angka itu. Kemudian, jika kita menyusuri jalan-jalan protokol, seakan setiap orang enggan dilewati. Hanya sedikit ruang gerak bagi kita. Manusia terbius dengan sugesti pergantian masehi.

Aneh. Padahal tidak ada yang istimewa, cenderung sangat biasa malah. Saya pikir mungkin inilah saat manusia memaknai perjalanannya, pergantian masehi dimanfaatkan untuk mengembangkan esensi hidup dan eksistensi diri. Selain mungkin ada juga yang berniat untuk mengadu pada sesamanya bahwa ”Saya takut menghadapi 365 hari nanti,”

Sugesti yang tak pernah berhenti.

Di akhir, memohon dan berdoalah. Agar 365 hari yang akan datang berpihak pada kita. Tiupan terompet, mudah-mudahan bermakna. Selamat tahun baru. Selamat berkarya dan selamat menjalankan tahap demi tahap kehidupan. Perubahan, semoga itu ada.