Senin, 04 Agustus 2008

Menakar Runtuhnya Sepakbola Indonesia

“Dulu, kita sangat hebat, Myanmar, nggak ada apa-apanya. Kita macan asia” kalimat itu terlontar dari bapak dengan rambut beruban. Ditaksir berumur sekitar 50 tahunan. Ia berbicara pada temannya di halte bus, ketika tahu bahwa kesebelasan Indonesia, yang ia sebut “PSSI”, kembali menelan pil pahit, gagal ke Semifinal Sea Games, kejuaraan multi-event yang diikuti negara-negara ASEAN plus Timor Leste yang diadakan di Nakhon Rachasima Thailand, Desember tahun lalu.

Bapak itu mengenang masa jaya Rony Patinasarany, Anjas Asmara, Rachmad Darmawan, dan kawan-kawan. Dengan bangga ia menyebut, “PSSI adalah raja asia” ujarnya. Namun, rona mukanya berubah menjadi kesedihan ketika ia harus menerima kenyataan bahwa PSSI’nya gagal bersaing dengan tim sekelas Myanmar. Negeri yang dilanda oleh kerusuhan politik berkepanjangan.

Kegagalan demi kegagalan harus diterima oleh bangsa penggila bola ini. Belum habis membicarakan kekalahan menyakitkan 0-7 dari Suriah, Indonesia harus pulang dengan tangan hampa di Sea Games. Padahal, konon, dana sangat besar telah digelontorkan untuk mengirim kesebelasan muda usia (U-23) yang juga diturunkan di Sea Games ini berlatih di negerinya Maradona, Argentina.

Berangkat dengan nada optimis, berkat hasil yang dicapai di Argentina, tim nasional yang dilatih oleh Pelatih asal Bulgaria, Ivan Venkov Kolev kembali harus mengakui bahwa Thailand, yang liga sepakbolanya tidak semeriah Indonesia, lebih baik daripada kita, yang konon liganya adalah yang terbaik di Asia Tenggara. Dominasi negeri gajah putih itu tidak tergoyahkan. Kesebelasan Thailand juara Sea Games untuk yang ke delapan kalinya beruntun.

Di Sea Games, tidak ada alasan bahwa kita kalah secara fisik. Musuh-musuh kita mempunyai keserumpunan secara fisik. Tinggi maupun berat badan hampir sama. Yang membedakan hanya mental. Thailand punya mental juara, kita? Mental kalahan yang diciptakan oleh dirinya sendiri atau lebih tepatnya oleh perbuatannya sendiri. Oleh kompetisi yang digulirkan hanya untuk hiburan, bukan untuk misi ideal yakni, prestasi. Bukan untuk menyaring pemain berbakat, tapi menjaring pemain asing sebanyak-banyaknya.

Kegagalan demi kegagalan adalah bukti bahwa sistem kompetisi dan pembinaan yang dijalankan di negeri ini tidak lagi mutakhir. Liga Indonesia digelar hanya untuk menjalankan “kewajiban” saja. Bukan untuk menelurkan jago-jago sepakbola. Tidak jelas apa visi dan misinya. Alih-alih menciptakan kesebelasan yang menembus level dunia, kompetisi liga hanya membuang-buang uang APBD. Ratusan miliar bahkan konon mencapai triliunan rupiah APBD di buang tiap tahunnya untuk membiayai klub daerah yang dulunya adalah tim perserikatan.

Klub-klub dimanjakan dengan dana itu, hingga ada kecenderungan malas untuk mencari dana sendiri. Hal itu adalah bukti bahwa roda kompetisi sepak bola bangsa ini dijalankan tidak profesional. Fungsi kompetisi menjadi paradoks. Tidak jelas, siapa yang akan menikmati hasil dari kompetisi melelahkan ini. Ketidak jelasan merambah hingga “untuk apa kompetisi dijalankan?”.

Globalisasi ternyata tidak sampai di ranah Indonesia dalam urusan sepakbola. Jargon “Sepakbola adalah industri”, tidak dijalankan sepenuhnya di sini. Hal itu karena tidak adanya keprofesionalan dalam mengelola sebuah klub sepakbola. Terhitung hanya beberapa klub saja yang dapat hidup dengan tidak mengandalkan dana dari pemerintah. Sejauh ini hanya empat klub.

Dana besar yang dihabiskan seperti terbuang percuma. Tanpa bekas. Yang ada hanya kerusuhan penonton dan pemain, wasit yang jauh dari kualitas mumpuni, kualitas stadion yang parah dan ketidakjelasan sistem kompetisi. Regulasi tentang promosi dan degradasi dengan mudah diubah-ubah.

Dana besar juga digunakan untuk mengirim pemain berlatih di luar negeri. Dana itu menguap tanpa ada hasil yang dipetik. Daripada untuk mengirimkan banyak pemain dan stafnya untuk berlatih di luar negeri, lebih baik dana tersebut digunakan untuk menciptakan kompetisi dan juga pembinaan bibit-bibit muda usia secara terprogram dan terstruktur dengan jelas.

Dana APDB juga bisa dipakai untuk membangun infrastruktur sarana dan prasana yang mendukung kompetisi yang ciamik. Kompetisi memerlukan stadion yang modern dan mendukung, dana APBD yang paling sedikit dikeluarkan di satu daerah sebesar Rp 12 milyar per kompetisi (sumber: Harian Pikiran Rakyat) dapat digunakan untuk membangun infrastruktur seperti stadion dan tempat latihan. Dengan dana sebesar itu stadion kelas satu dapat dibangun dan masyarakat dapat menikmati hiburan sepakbola yang lebih “jernih” untuk dilihat.

Intinya, keruntuhan sepakbola Indonesia disebabkan oleh mental yang lemah yang diciptakan oleh iklim kompetesi yang jauh dari keprofesionalan. Mental lemah menyebabkan krisis kepercayaan diri, baik pemimpin tertinggi asosiasi sepakbola negeri ini, pemain, dan masyarakat sepakbola Indonesia.

Pembenahan, harus segera dilakukan agar kehancuran tidak sampai ke akar-akarnya. Pembinaan pemain muda harus dilakukan berjenjang dengan iklim kompetisi yang kompetitif. Wasit harus terdidik dan berwibawa serta berjiwa pemimpin. Kompetisi harus direncanakan dengan matang dan murni menjunjung azas profesionalime bukan amatiran dan yang terpenting para pimpinan PSSI harus mengedepankan idealisme yang luhur untuk kemajuan sepakbola Indonesia. Jangan sampai kalah oleh negara lain yang mulai berpikir harus seperti apa agar sepakbola mereka dapat berlari kencang, bukan jalan di tempat.

Saya, krisiandi sacawisastra

Tidak ada komentar: