Senin, 04 Agustus 2008

Demokrasi di Negara Mayoritas Muslim

Suatu hari teman saya yang bekerja di media besar di Jakarta mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Benazir Bhuto adalah juga pembunuhan terhadap demokrasi. Termasuk di Pakistan yang menjadi pengikut negeri yang berpengalaman dalam menjalanan demokrasi. Pakistan adalah negara yang menjadi pengikut Amerika semenjak roda pemerintahannya dijalankan oleh Parvez Musharaf, yang menjadi saingan politik Bhuto. Ada tudingan bahwa Musharaf salah satu tokoh yang harus bertanggung jawab terhadap matinya sahabat Megawati Soekarno Putri itu. Kantor Musharaf langsung di bakar oleh orang-orang yang bersimpati terhadap Bhuto. Walaupun ada klaim dari kelompok teror Al-Qaeda bahwa mereka bertanggung jawab terhadap terbunuhnya satu dari sedikit pemimpin berjenis kelamin perempuan di dunia. Namun Pakistan tetap rusuh.

Teman saya itu melemparkan wacana, tapi isu itu lewat begitu saja, tanpa ada tanggapan yang berlebih dari teman-teman yang lainnya. Saya pun begitu, karena selepas itu, kami, yang berjumlah empat orang langsung berdiskusi dengan tema yang lain. Ketika itu kami berada di sebuah café di kawasan Setiabudhi, Bandung. Apa lagi ketika ada cewe super seksi melintas di hadapan kami, otomatis naluri kelaki-lakian kami langsung bekerja dengan baik. Dan tema pembicaraan kami langsung to the point, yakni perempuan. “mending mana, nongkrong di satu kampus di Bandung atau di Café?” ujar salah seorang teman saya. Jawabannya saya serahkan pada anda yang naluri kelaki-lakiannya masih on work.

Kami berdiskusi hingga larut malam. Dengan tema yang bermacam-macam, namun obrolan tentang pembunuhan demokrasi itu, sama sekali tidak tersentuh lagi. Sampai akhirnya, menjadi pikiran buat saya. Saat saya pulang menuju rumah, dengan motor yang saya kendarai, pikiran saya terus berputar hingga akhirnya menciptakan pertanyaan, “Demokrasi yang sejati, dapatkah di jalankan?”

Apalagi di negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti Indonesia dan Pakistan. Dan negara tetangga India itu dipimpin oleh seorang Jenderal dengan latar belakang militer yang kental.

Banyak yang menilai bahwa ajaran Islam sangat bertentangan dengan substansi demokrasi yang sesungguhnya. Islam, dalam pandangan beberapa paham, adalah agama otoriter yang berhukum sangat fundamental dan teks book. Sulit untuk berpikiran terbuka dan susah untuk mengalirkan pemikiran moderat.

Namun saya menilai, bukan karena saya penganut Islam (Islam saya masih berstatus Islam turunan), kaidah Islam dapat berbanding lurus dengan esensi dari demokrasi. Dapat sejalan dan seirama. Dengan spirit keislaman, orang-orang Islam yang taat terhadap hukum Islam dapat menjalankan demokrasi dengan baik.

Adanya isu Mayoritas-minoritas di satu negaralah yang dapat menghambat demokrasi. Bahkan negara yang menjadi “sang nyonya besar” (baca: Amerika), dalam menjalankan demokrasi pun tetap kesulitan memfungsikan arti sejati demokrasi. Salah satu kelompok agama di Amerika yang bernama White Anglo Saxon Protestant (WASP) mempunyai semacam “hak” yang lebih dibanding kelompok agama yang lainnya. WASP adalah kelompok mayoritas di Amerika. Ke-idealan demokrasi tidak dijalankan sepenuhnya oleh Amerika dengan adanya “hak” yang lebih besar itu.

Di Indonesia, sebagai negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, demokrasi tetap dijalankan. Dengan makna sejati dan sesuai dengan kontekstualnya atau tidak sangat relatif. Dalam konteks politik, ada bukti sahih yang membuat dunia bertepuk tangan untuk adanya eksistensi demokrasi negeri ini. Adalah ketika bangsa Indonesia berhasil menggelar pemilu pada 2004 lalu.

Islam di Indonesia masih bisa berdemokrasi. Tudingan yang mengarah pada akan tumbuh suburnya Islam radikal di negeri ini, terjawab oleh keberhasilan menjalankan fungsi demokrasi itu.

Islam di Indonesia tetap Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislamannya namun telah berusaha untuk menjadi penganut demokrasi. Banyak tokoh Islam dari Indonesia seperti halnya Abdurahman Wahid yang terus menerus mempraktekan demokratisasi dengan membawa kaidah moderat keislaman. Dengan berstatus Kiai, Abdurahman Wahid menyatakan bahwa Al-Qiyadah Al-Islamiyah (aliran yang dianggap sesat oleh masyarakat dan media di Indonesia) bukan aliran sesat. Kebebasan berkeyakinan, menurut dia, harus tetap dihormati. Pernyataannya itu berbeda dengan Lembaga keagamaan dan Ormas Islam yang seperti kebakaran jenggot ketika munculnya pemberitaan tentang Al-Qiyadah Al-Islamiyah.

Terlepas dari konteks politik, Islam di Indonesia masih belum dapat menyentuh hati seluruh penganutnya untuk dapat menjalankan demokrasi seutuhnya. Aspek Sosial masyarakat muslim di sini menjadi semacam faktor pendorong untuk berbuat “semau gue”. Kasus penyerangan dan penghancuran rumah-rumah ibadah masih sering ditemukan di sini. Seperti yang terjadi di Kuningan baru-baru ini, saat masyarakat menyerang tempat ibadah umat Islam Ahmadiyah.

Adanya kasus-kasus seperti itu bukan berarti kran demokrasi sulit untuk dibuka, namun masih harus terus didorong untuk dijalankan. Musuh demokrasi bukan agama, melainkan faktor sosial yang menjadi masalah laten seperti kemiskinan dan kebodohan. Dua hal itu dapat membuat isu mayoritas –minoritas dan kecuriagaan terhadap keyakinan yang lain muncul secara signifikan. Kecuriagaan itu seperti Islam takut akan kristenisasi dan kristen takut terhadap islamisasi. Hal-hal itu lah yang menghambat demokrasi.

Islam atau umumnya agama adalah modal untuk mengajarkan bangsa ini berdemokrasi. Keberagamannya adalah faktor kuat untuk melihat demokrasi dengan hati. Kondusifnya kehidupan beragama di tengah kedinamisan islam dan agama lainnya di Indonesia akan menciptakan iklim demokrasi yang kuat.

Titik mayoritas-minoritas harus ditempatkan dalam kebebasan yang berkeadilan sosial. Itulah, menurut saya, yang membuat demokrasi dapat dijalankan sesuai dengan substansinya. Kebebasan berkeyakinan harus dihormati. Penilaian tentang kesesatan dalam berkeyakinan harus dilihat dari berbagai aspek. Seperti historis dan arti dari kesesatan itu sendiri. Intinya, demokrasi bisa berjalan di negara dengan mayoritas penduduk muslim, saya menjamin itu.

Pembunuhan Bhuto tidak akan membunuh demokrasi. Itu hanya pekerjaan orang-orang yang menilai bahwa agama adalah alat untuk berbuat “semau gue”.

Saya, Krisiandi Sacawisastra

Tidak ada komentar: